Tidak main-main, negara ini mengalami kekurangan air serius. Di sini, air ikut menentukan perang, menyulut perpecahan dengan negara-negara tetangga, dan mendominasi agenda politik pemerintah.

Meskipun demikian, negara ini jadi panutan. Selamat datang di Singapura! Ini negara pulau multikultural yang dinamis, berlokasi di garis khatulistiwa.

Populasinya padat. Sekitar enam juta orang tinggal di sini. Negara ini merupakan pusat perdagangan dan keuangan internasional. Negara yang bersih, aman, modern, kaya, dan hijau.

Pada dasarnya, Singapura memiliki banyak hal yang diinginkan orang. Tetapi, ada satu masalah. Singapura tidak punya sumber air bersih alami. Mengingat pertumbuhan ekonomi dan populasinya,

permintaan akan air bisa meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2060. Namun demikian, Singapura punya solusinya. Ini Peter Gleick. Dia pakar air yang sudah memenangkan penghargaan.

Dia mengatakan, kesuksesan Singapura didasari pendekatan 'jalur lunak' untuk mengatasi masalah. Untuk mengerti bagaimana Singapura mampu melakukan ini,

Orang harus mengerti dulu latar belakangnya. Ini John Church. Dia bertanggung jawab untuk masalah air di PBB. Warga Singapura kemungkinan akan mengatakan, sejarahnya lebih panjang dari itu.

Namun tahun 1942 adalah tahun ketika isu ini mulai didengar di dunia. Yaitu ketika pasukan Sekutu: Inggris, Australia, dan India, berperang melawan Jepang di pulau Singapura, yang jadi koloni Inggris.

Pasukan Sekutu bergantung pada air yang diimpor, sehingga mereka mengalami kesulitan ketika tentara Jepang menghancurkan pipa air. Pasukan Sekutu kalah perang di Singapura, tetapi setelah Jepang sepenuhnya menyerah,

pulau itu tetap berada di tangan Inggris. Butuh waktu sekitar 20 tahun hingga pulau itu menjadi sepenuhnya merdeka. Namun kebebasan politik tidak membebaskan Singapura dari krisis air:

penjatahan air, sanitasi yang buruk, banjir yang rutin dan terus terjadi. Karena nasibnya sekarang berada di tangan sendiri, Singapura mulai membuat rencana jangka panjang.

Cecilia Tortajada sudah menghabiskan hampir tiga dekade untuk meneliti kebijakan dan inovasi air di seluruh dunia dan dia terpesona dengan langkah yang diambil Singapura.

Rencana induk mereka pada awalnya adalah menyempurnakan rencana untuk strategi air yang mereka sebut "Empat Keran Nasional". Yang pertama, impor air.

Desalinasi. Penampungan air hujan. Dan hal yang mereka sebut "NEWater" atau air baru. Begini penjelasannya. Pertama-tama, Singapura tahu ada banyak air di sini.

Dua kesepakatan menyangkut impor air dari Malaysia tahun 60-an membuat Singapura tidak kekurangan air. Harganya murah dan jutaan liter dipompa melewati perbatasan setiap hari.

Namun, membeli air dari tetangga bukan solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Sebaliknya, sejak awal Malaysia mengancam akan menghentikan pasokan dan mempermasalahkan harga.

Ketegangan sudah menyebabkan munculnya peringatan akan konflik militer. Para pemimpin Singapura tahu kelemahan mereka. Jadi mereka ingin menghentikan impor air pada tahun 2061.

Jadi, sangat penting bahwa tiga keran lainnya bisa mengalirkan banyak air. Itu artinya, menjaga kebersihan sungai dan saluran air, menginvestasikan miliaran uang, mulai mengumpulkan lebih banyak air.

Membersihkannya dan memanfaatkan apa yang sudah dimiliki negara Singapura. Misalnya ini: lautan. DW punya video tentang cara mendapatkan air tawar lewat desalinasi. Ini digunakan di berbagai kawasan yang sangat kering di dunia

dan membawa perubahan besar bagi banyak orang. Singapura berupaya untuk terus memperbaiki teknologi ini. Instalasi di bawah tanah ini misalnya, merupakan yang tercanggih.

Biasanya, instalasi ini mengolah air yang sudah digunakan. Di masa kekeringan, instalasi ini untuk desalinasi air laut. Di atas instalasi ini dimanfaatkan sebagai taman. Saat ini, lima instalasi desalinasi menyediakan hingga 25% kebutuhan air bagi pulau itu.

Singapura berencana meningkatkan kapasitasnya untuk memenuhi 30% kebutuhannya tahun 2060. Diperkirakan, tahun 2060 kebutuhan air akan naik dua kali lipat.

Tetapi itu masih jauh dari cita-cita mandiri air. Jadi apa langkah berikutnya? Betul! Hujan! Banyak dan Singapura hebat dalam memanfaatkan hujan semaksimal mungkin.

Yaitu dua pertiga dari seluruh permukaannya. Jaringan sungai, kanal, dan saluran air menyalurkan air ke 17 waduk. Yang terbesar adalah Marina Barrage, yang luasnya 10.000 hektar.

Waduk ini mencegah air mengalir ke lautan dan membantu menanggulangi banjir yang kerap terjadi. Demikian pula tangki air di bawah tanah ini,

yang menampung air banjir dalam situasi ekstrem, ketika air dari saluran pembuangan meluap. Air ini punya potensi untuk diolah dan digunakan kembali. Tahun 2060, pemerintah ingin menggunakan 90% area daratan

untuk penyerapan air hujan. Menyerap air hujan adalah satu hal, tetapi bagaimana dengan air yang sudah bersirkulasi? Badan urusan air membangun pipa pembuangan air sepanjang 206 km

yang menghabiskan biaya 10 miliar dolar dan mengarahkan pembuangan limbah ke fasilitas reklamasi dan pemurnian air yang canggih. Singapura dianggap negara kelima terkaya di dunia.

Jadi tak heran jika negara ini mampu mengeluarkan uang sebanyak itu. Melaksanakan proyek besar seperti ini juga lebih mudah jika negara memiliki semacam 'demokrasi yang terkontrol',

yang dipimpin partai yang sudah berkuasa sejak kemerdekaan Singapura tahun 1965. Jadi, seluruh sistem bawah tanah kota pada dasarnya adalah satu jaringan pembuangan limbah besar.

Namun, kebanggaan utama strategi air Singapura adalah apa yang terjadi setelah air dikumpulkan, yaitu pengolahan air. Badan berwenang menyebutnya NEWater. Produksinya melibatkan mikrofiltrasi, osmosis terbalik

dan radiasi ultraviolet. Tahukah kamu, di seluruh dunia, separuh dari air limbah dibuang tanpa diolah terlebih dahulu? Dan hanya 11% yang benar-benar digunakan kembali.

Di Singapura, sekitar 30% dari seluruh permintaan atas air, termasuk air minum, dipenuhi dengan mendaur ulang air yang sudah digunakan. Dan jumlah ini ingin ditingkatkan menjadi 55% pada tahun 2060.

Sebagian besarnya digunakan oleh industri. Hanya sebagian kecil dicampurkan ke dalam pengolahan air minum. Bagaimana caranya mengajak warga untuk ikut serta? Jadikan penghematan air sebagai sesuatu yang menguntungkan!

Kampanye di seluruh Singapura bertujuan mendorong orang untuk memakai peralatan rumah yang hemat air. Bagusnya pula, jika kita membeli peralatan itu,

orang akan mendapat voucher diskon untuk produk berkelanjutan lainnya. Pengukur air digital mencatat konsumsi air setiap rumah tangga dan juga mendeteksi kebocoran pada pipa.

Oleh sebab itu, kebocoran air di Singapura hanya 5%. Secara global, diperkirakan rata-rata 30%. Meskipun Singapura telah melakukan hal yang baik, negara ini punya banyak keuntungan dibanding negara-negara lain.

Selain kaya dan masyarakatnya sangat terkendali, negara pulau itu hanya punya sektor pertanian yang sangat kecil, sehingga dapat berfokus hampir sepenuhnya pada air limbah penduduk dan industri.

Jadi, memiliki satu masalah lebih sedikit, karena produksi pangan jadi sumber polusi dan menghabiskan sejumlah besar air tawar di banyak bagian dunia. Namun demikian, mereka menunjukkan bahwa banyak sekali

yang bisa dilakukan. Jadi, kesimpulannya: memberikan insentif bagi peralatan murah untuk menghemat air harus bisa dilaksanakan oleh setiap pemerintah. Desalinasi hanya opsi bagi kawasan pantai.

Itu memerlukan banyak energi, bahkan kerap menggunakan bahan bakar fosil. Instalasi pengolahan airnya salah satu yang terbaik di dunia. Ini berkat tingginya penanaman modal.

Menggunakan kembali air limbah sepertinya merupakan hal yang mudah. Aman digunakan, teruji, dan teknologinya sudah tersedia. Singapura sedang merintis upaya penanganan

Beberapa tantangan terbesar dalam penyediaan air di dunia adalah dampak perubahan iklim. Ini bukan hanya masalah uang, melainkan juga soal pengambilan keputusan,

kebijakan, dan perencanaan jangka panjang. Dengan penanganan yang tepat, banyak kawasan di dunia dapat berubah dari kekurangan air menjadi kaya air.

4 Keran Nasional: Rencana Singapura hadapi ancaman krisis air, ribut dengan Malaysia? | DW Planet A

DW Indonesia

Singapore faces a serious natural water shortage despite being a prosperous and modern island nation.

Singapore is a vibrant, multicultural island nation with a dense population and is an international trade and financial center.

Despite being rich and modern, Singapore has no natural sources of clean water and water demand is expected to double by 2060.

Singapore has adopted a 'soft path' approach to address its water issues.

The history of Singapore's water crisis and the development of the "Four National Taps" strategy.

The defeat of Allied forces from Japan in 1942 highlighted Singapore's vulnerability to water supply disruptions.

After independence, Singapore faced water rationing, poor sanitation, and regular flooding, which prompted a long-term plan.

The "Four National Taps" strategy includes water import, desalination, rainwater harvesting, and NEWater (recycled water).

Reliance on water imports from Malaysia is politically problematic and is driving Singapore to become water independent by 2061.

The innovations and technologies that Singapore uses to manage its water resources.

Singapore is investing in advanced desalination technology to turn seawater into fresh water.

Desalination plants currently provide 25% of water demand and are targeted to reach 30% by 2060.

Singapore maximizes rainwater harvesting through reservoirs and extensive drainage infrastructure.

NEWater, wastewater treated through microfiltration, reverse osmosis, and UV radiation, meets 30% of water demand and is targeted to reach 55% by 2060.

Water conservation efforts and public involvement in water-saving programs.

Public campaigns encourage the use of water-efficient appliances with incentives and discount vouchers.

Digital water meters monitor household consumption and detect leaks, resulting in a low water leakage rate of only 5%.

Singapore has the advantage of a small agricultural sector, so it can focus on residential and industrial wastewater.

Lessons and conclusions from Singapore's water management model.

Incentives for water-saving appliances and wastewater reuse are widely recommended.

Desalination is energy intensive and may not be suitable for all regions.

Significant investment and long-term planning are essential for successful water management.

Effective decision-making and the right policies can turn water-deficient areas into water-rich ones.