Revitalisasi Pendidikan dan Birokrasi di Jawa Barat: Menggali Potensi Lokal untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Dedi Mulyadi emphasizes the importance of preserving Indonesian traditions and culture within the education system to foster national identity and future progress.

### Building the Future Through Education and Strong Ideology
* 🙏 May Allah always guide us and let the wind **guide our steps** in the journey of **education and development**.
* 💬 "I am a failure, not a success," says a leader who has struggled to build Purwakarta for 15 years, but feels he has not succeeded in **internalizing ideal values in the bureaucracy**.
* 📉 He highlighted a major problem facing the nation, namely "**the capitalization of religious issues to undermine the ideas of the nation's future**," which hinders progress.
* 🌍 Countries like America and Japan have managed to grow rapidly thanks to **strong ideologies and traditions**, while Indonesia is still searching for a **clear identity and ideology**.
* 👩 Education in Indonesia faces a threat from the abandonment of traditionalism, which causes the younger generation to **lose basic skills and connection with the environment**.
* 🛠 Technology, which is supposed to be a tool for progress, has instead become an **unproductive lifestyle**, with the younger generation more interested in **consumerist goods** than developing their skills.
* 🚀 To build a better future, it is important to **strengthen education and ideologies rooted in local values**, such as Pancasila and Sundanese culture, and ensure teachers have the **freedom to educate without intervention**.
* 📚 By focusing on teacher development and relevant education, Indonesia can build a generation that is **ready to face future challenges and contribute to the nation's progress**.

Semoga Allah selalu membimbingmu dan biarlah angin menuntun [Musik] langkahmu. Ah, makasih. Alhamdulillah. Makasih [Musik], Bos. Eh, ini [Musik]

[Musik] Iya. Mungkinkah terjadi apa yang tidak mungkin? Oh, man, tidak bisa bertemu dengan Bapak aing hari ini? Bertemu dengan Bapak aing semuanya mungkin! Tepuk tangan untuk [Musik] aku. Ada yang memiliki aku. Ada yang memiliki walau kita masih saling [Musik] menyayangi. Hormat, Kang H. Ded! Mu [Musik] Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Waalaikumsalam sampurasun. Amin. Bapak, Ibu, sadayana para guru linuhung. Aya guru, aya linuhung. Eh, guru linuhung teh hiji sistem nilai anu ngawangun hubungan pendidikan di Tatar Sunda, hubungan pendidikan di Purwakarta. Nyaeta guru-guru anu linuhung, anu linuhung teh anu setiap dintenna ngedalkeun anu Agung. Apa sih? Saya ini

orang yang gagal, bukan orang yang berhasil. Kenapa gagalnya dulu? Saya membangun Purwakarta selama 15 tahun, dimulai jadi wakil bupati, tetapi ternyata saya hanya baru bisa meletakkan kerangka fisik.

pembangunan. Saya belum bisa menginternalisasikan nilai-nilai ideal yang menjadi keyakinan saya itu masuk dalam sumsumnya birokrasi dan penyelenggara pemerintahan, sehingga tidak bisa...

Apa sih tujuannya? Mau diapakan yang menjadi gagasannya? Dan apa yang menjadi tujuannya? Apa sih yang menjadi problem dari semua ini? Problem semua ini adalah kapitalisasi isu agama untuk meruntuhkan gagasan-gagasan masa depan bangsa. Sekali

lagi saya katakan, kapitalisasi isu agama untuk meruntuhkan masa depan bangsa. Orang hari ini selalu menentang tentang pikiran, tentang pikiran, gagasan, tetapi orang lupa, tidak ada satu pun bangsa di

dunia ini yang maju pesat tanpa gagasan yang maju pesat, tanpa ideologi yang maju pesat, tanpa jati diri. Enggak ada. Amerika itu tumbuh menjadi bangsa yang multietnik, plural, penganut paham

kebebasan karena Amerika adalah kumpulan kaum pendatang yang warga aslinya memilih menjadi kaum tradisi, yaitu Suku Indian. Karena dia kumpulan kaum pendatang, maka dia harus menghormati

kebebasan. Dia harus menghormati seluruh gagasan itu. Dan negara itu menjadi negara plural yang tidak bicara agama, yang tidak bicara suku, yang tidak bicara etnik sehingga dia tumbuh menjadi besar.

Dalam sebuah kesepakatan bersama dalam bentuk federalisme negara, dan gagasan-gagasan itu terus ditumbuhkan sehingga ia menjadi kekuatan dunia yang ingin menguasai seluruh dunia di mana

ia ingin menjadi sentral bahasa, ia ingin menjadi sentral makanan, ia ingin menjadi sentral pakaian, ia ingin menjadi sentral seni, ia adalah sentral ekonomi, dan ia sentral dari kekuatan militer. Ekonominya

dikuatkan lewat dolar. Itu Amerika. Kemudian kita tahu ada negeri yang tradisi banget, namanya Jepang. Agamanya Shinto, kehidupannya tradisi, tetapi perspektif berpikirnya

menembus pikiran-pikiran orang. Ia melewati batas-batas wilayah. Kegagalan dalam diplomasi perang yang melahirkan bom di Hiroshima dan Nagasaki tak membuatnya terpuruk. Ia menggerakkan

seluruh guru sebagai komponen dari negara. Ia membangun adiluhung sebuah bangsa dan ia memelihara citra. Jadi seseorang pejabat, daripada gagal dalam melaksanakan tugas, ia

berhasil. Kemudian ada negara lagi namanya Iran. Ia punya sebuah orientasi, kenangan masa lalu yang menjadi ideologi. Ia tumbuh dengan ideologi Syiah-nya dan kemudian ia membangun sistem negara dan membangun dirinya terus.

menjadi kuat, menguat, menguat, dan dia dengan gagah menantang siapa pun. Dan dia tumbuh menjadi bangsa besar, Cina. Dia, bangsanya, penduduknya jumlahnya banyaknya luar biasa, disatukan dengan ideologi komunis.

Dulu dianggap ideologi yang tertinggal, kemudian komunisme dikelola secara baik. Semua negara disatukan dalam satu visi komunisme. Dia senang disebutnya Tiongkok. Nah, kemudian memasuki era kapital,

dia mengkapitalisasi komunisme. Jadi kekuatan di mana negara memiliki peran sentral, ekonomi negara memiliki... Dia membangun jalan, membangun jembatan, membangun kereta, membangun teknologi. Negara

memberikan dorongan terus, fiskalnya, terhadap para pemikir, para pengusaha, disubsidi secara terus-menerus. Dia ciptakan mobil, dia ciptakan kereta, diciptakan kain. Negara mensubsidi terus,

agar dia bisa jualan ke luar negeri. Siapa yang... Pelanggan dari, dari seluruh barangnya. Indonesia senang barang murah, beli di media sosial, harganya murah. Bangkrutlah industri tekstil Indonesia. Sebentar lagi mungkin

industri otomotif akan banyak yang gulung tikar. Kenapa? Orang jual 1 miliar mobil, dia bisa jual 50 juta. Kenapa? Tujuannya adalah seluruh masyarakat dunia menjadi pelanggannya. Seluruh

industri bangkrut sehingga dia menjadi raksasa. Kenapa? Apa dengan sistem itu? Nah, pertanyaannya adalah, Indonesia itu negeri apa? Kita ini ideologinya apa sih? Nah, ya kalau mau bicara Indonesia, kalau hanya bicara Indonesia dalam teks

undang-undang, kalau hanya bicara Indonesia dalam kesepakatan politik elit, sampai kiamat kita enggak akan maju. Kenapa? Elit berubah, Pak. Pak Harto 32 tahun berkuasa, ganti lagi, berubah lagi

kebijakannya. Ganti lagi, berubah lagi kebijakannya. Ganti lagi, berubah lagi kebijakannya. Apa di Indonesia yang tidak dirubah dalam waktu cepat? Susah. Sistem yang baik itu mapan, tidak berubah-ubah dalam setiap

waktu, tidak menjadikan percobaan-percobaan-percobaan. Kenapa ini terjadi? Karena tidak memiliki latar nasionalisme, ideologi religius. Dia berpandangan, yang satu berpandangan ke barat, yang satu

berpandangan ke Timur Tengah. Bingung nyusun undang-undang. Jadi bingung semuanya. Menjadi bingung, akhirnya kompromi, kompromi, kompromi. Pasal kompromi, undang-undang kompromi,

konstitusi kompromi. Terus saja pragmatisnya. Nah, sedangkan dasar ideologi bangsanya makin merapuh. Sehingga saya melihat pendidikan itu ada dua ancaman terhadap pendidikan.

Indonesia, para guru pertama adalah ancaman ditinggalkannya tradisionalisme. Ditinggalkannya tradisionalisme adalah ancaman. Kenapa orang kehilangan tradisinya di kampung? Kehilangan tradisinya, enggak ada lagi

anak-anak yang main kucing-kucingan, petak umpet, enggak ada lagi. Anak-anak yang main keler-keleran, enggak ada lagi.  Anak-anak yang main dam-daman, semuanya, komunitasnya hilang.

digantilah dengan playgroup. Playgroup, gurunya harus digaji, anak-anaknya distrukturalkan, harus diseragamkan. Pola permainannya diganti oleh pola permainan proyek, ada

alat peraganya, ada beli perosotan. Ayo semuanya berbasis duit, berbasis proyek. Nilai-nilai alamiah yang itu menyatukan manusia dengan lingkungannya runtuh. Dari situ anak lagi tidak mengenal lagi

pematang sawah. Anak tidak lagi mengenal perikanan, anak tidak mengenal sungai, anak tidak mengenal danau, anak tidak mengenal pohon, anak tidak mengenal oksigen. Semuanya tidak dikenalinya, dia hilang dalam pikirannya. Apa dalam fase

depannya? Akhirnya dunia pertanian runtuh. Kenapa dunia runtuh? Runtuh sebentar lagi, 25 tahun lagi runtuh. Kenapa tidak ada lagi generasi petani Indonesia? Saya tinggal di

Desa saya, tahu betul bahwa yang menanam itu tidak ada yang berusia 20 tahun. Saya tahu betul, yang mencangkul sudah tidak ada yang berusia 20 tahun. Saya tahu betul, semua usianya

di atas rata-rata, di atas 50 tahun. Dia bertahan 15 tahun lagi, hilang generasi petani Indonesia. Siapa yang akan mencangkul ke depan? Kemudian orang ngomong teknologi. Lari lagi, kan bisa menggunakan teknologi.

Emang teknologinya, teknologi mana yang akan digunakan? Berarti orang harus beli pembajak sawah, orang beli drone. Pertanyaannya adalah, kita beli drone dengan harga petak sawah hanya 1/4

hektar. Ah, Cina itu, drone lahir karena tradisi mesin traktor, lahir karena tradisi. Jepang juga, karena tradisi. Karena dia tradisi membajak, maka dia mengubah pola pikirnya. Besok ganti mesinnya, besok

ganti mesinnya, besok ganti. Bukan Indonesia. Teknologi lahir karena mode, karena gaya hidup. Drone jadi gaya hidup. Orang-orang di-drone nggak tahu tujuannya apa. Semua OPD pakai

drone, tujuannya apa? Bikin film untuk TikTok. Nu kitu teh euweuh, sedih. Drone mahal-mahal, lah sedikit komen, sedikit di-share. Anak buahnya teh, "Komen atuh, Si Teh!" "Komen!" Cicing wae. Eta bapak tadi make

Drone kayaknya sih ini harus ini Vir yang harus di kalau ingin kita punya masa depan. Nah, itu di kaum tradisi hilang semuanya. Hilang tradisi makan, hilang memasak, jangankan garap sawah, saya cek,

silakan seluruh anak perempuan, anak sekolah SD, SMP, SMA, mana yang bisa masak? Padahal dari tradisi masak melahirkan industri. Menjahit, dicek silakan. Ada anak-anak sekolah sekarang yang bisa

menjahit? Padahal, Cina itu karena kita bahan dasarnya dihilangkan, kecintaan lingkungannya dihilangkan. Siapa yang membunuh itu? Sekolah. Saya ini sudah sampai pada tingkat ini. Ada kejahatan baru yang

dicetak. Kejahatan apa? Orang lupa di lingkungan saya yang saya awasi dalam setiap hari, tiap sore. Setelah orang lain ke sawah itu dia babat rumput, dia anak-anak sekolah ini mau nongkrong di

saung, kok, minum-minum, motornya dibarisin. Dan saya cek, itu motornya leasing semuanya. Orang tuanya apa? Tiap hari pegang kepala. Kenapa? Setor motor, bayar BBM, bayar kuota, uang jajan. Di otak orang

tua hari ini adalah penderitaan. Kenapa kehadiran anak tidak membuatnya kebahagiaan? Dulu orang tua kita punya anak 12 enggak jadi problem, mapan hidupnya. Kenapa? Satunya berperan ekonomi dalam rumah.

Tangganya yang satu nyapu, yang satu nyuci, yang satu masak, yang satu ngambil kayu bakar, yang satu ngambil ikan di sungai, yang satu ngambil rumput. Semuanya bergerak menjadi kekuatan ekonomi.

Hebatnya luar biasa. Pertanyaan saya, adakah generasi hari ini yang punya 12? Kemudian dia enggak ada. Anda kalau ngomong intelektual, ibu saya ya tidak sekolah SD, Pak, enggak bisa

baca tulis. Anaknya sebisa sekolah semuanya. Bapak saya hanya prajurit, prajurit kepala palang tiga. Dari sisi kalkulasi ekonomi, anak mati harusnya sawahnya seperempat hektar, satu

kolam seperempat hektar, kebun bambu. Itu modal kekayaan kami. Kami bisa hidup tanpa satu jengkal pun yang terjual, malah bertambah karena anak menjadi daya dukung keluarga. Hari

ini, mohon maaf, anak-anak Bapak saya yang golongan 4A, yang golongan 3C, parah anak-anaknya. Enggak bisa sekolah, enggak bisa kayak bapaknya, enggak bisa jadi pegawai, enggak bisa jadi

apa pun. Kenapa ini terjadi? Mindset pendidikan yang salah terhadap anak-anak itu culture. Untuk itu saya katakan, kalau Indonesia, Jawa Barat ingin maju, maka basis culture-nya harus dibangun lagi. Kenapa? Kata orang,

Sebenarnya itu saya kalau meminjam terminologi politik, orang meragukan berpolitik saya dari dulu. Kenapa? Kontroversi, melawan apa pun, dihadapi, enggak mau kompromi, patung dihancurkan. Saya berdiri

lagi, bangun lagi patung baru, bukan menyerah dan berkompromi. Kenapa? Saya lagi memperjuangkan ideologi, bukan hanya sekadar ingin menjabat. Kalau hanya sekadar ingin menjabat, enggak usah capek-capek,

kompromi saja dalam setiap waktu. Kalau saya mau kompromi dulu di Purwakarta, enggak akan 66%, saya bisa 80%. Tetapi ngapain hidup memimpin kalau enggak punya nilai? Kalau enggak jadi

yang diperjuangkan? Kalau enggak ada ideologi yang dibangun? Kalau enggak ada nilai-nilai masa depan yang ingin diletakkan? Sekadar menjabat, enggak usah jadi politisi, jadi pegawai negeri saja,

tukang disuruh. Pegawai negeri kan tukang disuruh. 'Bupati ini Ibu paling hebat.' Ganti Bupati, 'Ini Bapak hebat.' Besok hebatlah Bupati akting, diangkat jadi jabatan, kan

segitu, kan itu. Nah, tetapi menurut saya, guru enggak boleh begitu. Guru tidak tergantung pada struktur jabatan karena guru adalah linuhum, dia adalah orang-orang yang diletakkan di altar.

yang guratnya itu adalah gurat air. Kemudian dalam Bhataranya, Bhatara Wisnu, dalam kebhataraan. Karena untuk itu dia adalah bebas nilai. Karena dia bebas nilai, dia tidak bisa diintervensi oleh

siapa pun. Dan guru tidak boleh ada rasa takut oleh siapa pun. Kalau guru takut sama kepala sekolah, guru takut sama kepala dinas, sekarang guru takut sama orang tua, sudah, mengundurkan diri jadi guru. Kenapa kita

tidak akan bisa membangun piranti masa depan bagi anak-anak kita? Makanya guru luhur. Karena guru luhur, dia punya nilai-nilai adiluhung, enggak boleh disentuh, ditempatkan. Ini problem

Indonesia adalah salah dalam mempersepsikan guru. Guru diletakkan menjadi komunitas pegawai yang paling mudah digiring dan diarahkan oleh pemimpinnya. Enggak bisa, enggak akan bisa. Apakah Anda mau anak-anak Anda dididik

sama orang yang mudah didikte? Saya pasti pilih guru bagi anak-anak saya adalah guru yang tidak bisa didikte oleh siapa pun. Dia yakin pada kebenaran yang objektif. Itulah guru. Karena itu guru pendidikannya beda,

tetapi gurunya harus punya kerangka dasar ideologi. Ideologi yang dikembangkan apa? Ya Pancasila. Ya Pancasila di Nusantara. Di mana ya Nusantara? Nusantara adalah terdiri dari pulau-pulau. Ya,

antaranya apa ya, kalau di Jawa Barat punya ideologi kesundaan? Karena kalau kita tidak punya ideologi kesundaan, kita enggak akan bisa kenal tanah kita, kita enggak bisa kenal air kita,

enggak kenal udara kita, kita enggak kenal matahari kita, kita enggak kenal leluhur kita, karuhun kita yang memiliki keadiluhungan diri. Dan saya katakan pada semuanya, saya sebagai orang Sunda, saya

katakan, guru linuhung adalah karuhunnya bagi orang Sunda. Enggak boleh lagi pandangan Anda, guru linuhungnya dari Eropa, dari Barat, dari Timur Tengah, enggak! Karuhun kita!

Kenapa orang kita bisa di sini? Bisa beragama, bisa berbudaya? Itu dari karuhun kita, bukan dari orang lain yang ngajarin. Ngomong adalah ibu kita, ibu kita dari nenek kita, nenek kita dari buyut kita,

dari situ kita ini tugasnya menyempurnakan, bukan merubah-rubah dan merasa rendah diri, menganggap linuhung kita adalah orang-orang yang tidak ngerti agama. Kata siapa mereka lebih

tahu dibanding kita? Cuma bedanya mereka tidak sok pintar. Kenapa? Sindang, siloka, sasmita. Dia menyembunyikan seluruh kearifan dan ilmunya. Atas nama apa? Atas nama nilai-nilai

Ketuhanan, bagaimana kearifannya? Orang bikin dongeng Si Kabayan, enggak ditulis. Si Kabayan buatan siapa? Bagaimana orang Sunda, leluhur Sunda itu dirinya adalah diri, diri, diri

yang berpasrah pada Allah. Diri yang hirup ukur sasampuran awak, ukur sasampayan sarir, indumadi sareng kak saarol sadaya kersaning Allah. Enggak ada yang diakui. Siapa yang bikin cerita

Lutung Kasarung? Apakah menuntut hak cipta? Tidak. Siapa yang bikin cerita Sangkuriang? Siapa yang bikin cerita Si Kabayan? Enggak ada, enggak ditulis. Baik, enggak ada itu bukti bahwa dia adalah

orang-orang yang ikhlas. Kita nulis, ditulisin, menang Dedi Mulyadi. Bing diaku, ku batur. Ada hak karya ciptaan. Kalau lagu sudah ada bayarannya tiap, bu. Walaupun

masih kecil itu diperjuangkan. Kenapa hari ini harus diurut? Kenapa? Karena hari ini kekayaan menjadi nilai-nilai material, karya intelektual hari ini menjadi nilai kapital. Ya, hari ini harus dihakciptakan. Kenapa? Kalau enggak oleh

orang lain, diaku, pakai dagang dia. Kalau dulu? Enggak. Itu bedanya. Nah, ini kan penting. Jadi pendidikan yang harus dilakukan bukan muridnya dulu. Kalau ingin membangun Jawa Barat, ingin

membangun Purwakarta yang harus ditata bukan muridnya dulu, gurunya dulu. Saya di tayangan YouTube, saya itu cerita, waktu saya masuk SD, saya ketemu guru matematika saya. Saya bilang, 'Bu, nanti kasih

nilai pada murid, angka itu anak pakai tematikanya. 4 tambah 4, 8. Nilai ujiannya 8, kenaikan kelasnya delapan. Tapi dia tiap hari tidak bisa memilah uang belanja, uang jajan.' Saya pikir enggak layak dia

menjadi 8 lah. Tapi anak itu matematikanya empat, tetapi anak itu mampu memilah uang jajan, itu menjadi investasi. Dia menyimpan, dia ngirit, ke sekolahnya jalan kaki. Anak itu dikasih

sembilan saja.' Kenapa? Dia nanti akan menjadi orang yang sukses di *out of the* ingat orang-orang yang sukses tidak ranking pertama di kelasnya, enggak. Orang sukses rata-rata kadang-kadang *do di*

sekolah. Kenapa? *Out of the box*, berani mengambil keputusan, berani mengambil langkah, mengambil risiko. Negeri ini butuh orang *out of the box*. Ini penting. Nah, yang kedua, apa yang menjadi problem kita hari ini? Pertama,

kita berproblem di tradisi kita. Yang kedua, ketinggalan di teknik. Kan aneh kita, kita sudah tertinggal menjadi bangsa tradisi, tetapi ketika kita pun tidak berhasil menjadi bangsa yang *high-tech*, bangsa

Teknologi, loh. Terus yang kita pakai selama ini apa? Kita adalah konsumen dari teknologi, konsumen dari teknologi. Oke, saya ngomong berulang-ulang. Birokrasi di Jawa Barat sudah digitalisasi.

Oke, benar. Heeh, heeh. Birokrasi di setiap kabupaten/kota sudah digitalisasi. Heeh. Makna digitalisasi untuk apa? Efisiensi. Untuk apa? Birokrasi tinggal di tempat, cukup menggunakan perangkat

digital untuk komunikasi. Maka negara efisien, dapat untung dari belanja teknologi. Belanja untungnya untuk kepentingan apa? Pembangunan. Apa yang terjadi di negeri ini? Belanja digitalisasinya luar biasa banyaknya,

belanja makan minumnya tetap gede, perjalanan dinasnya tetap gede, ongkos kantornya tetap gede. Terus digitalisasi buat apa? Nyaris jumlahnya, ngariung. Lamun teu ngariung, teu itu teh,

teu dahar bareng teh. Asa teu bermasyarakat. Akhirnya belanja gede, belanja digitalnya gede, belanja gede, belanja pikniknya gede. Aria, itu saya orang yang selalu menganalisis anggaran dari

dulu. Karena analisis anggaran, maka saya dulu selalu, 'Oh, enggak bisa.' Saya sudah tahu di Provinsi Jawa Barat itu, itu nanti yang akan saya, sudah, sudah tahu itu yang akan saya efisiensikan lebih dari 3 triliun.

Saya sudah tahu itu. Di mana judulnya? Kenapa ya, itu tadi belanjanya enggak tepat. Kirim ke sana 100 miliar. Saya tahu belanja untuk kepentingan pendidikan saja, itu alat peraga lebih dari 300 miliar.

Saya lihat, saya mau buka, saya akan buka itu nanti. Kenapa ini? Duit enggak akan bisa menjadi kemajuan kalau cara pengelolaan begini. Anda, Sekda di sini dulu kepala

bidang keuangan, saya silakan dicek. Purwakarta ketika saya pimpin mengalami lompatan-lompatan. Kalau saya tanya, eh ketika berakhir Kang Dedi memimpin, itu ada defisit sekitar 300

miliar. Oh, itu ilmu saya. Saya tahu saya tidak akan defisit. Kenapa saya tahu? BPJ yang mengganti saya tidak akan belanja pembangunan di mana yang aman yang maka itu saya bikin pembangunan di terakhir

meninggal, saya tinggalkan. [Tepuk tangan] [Musik] [Tepuk tangan] Saya jawab sekarang, itu ilmu saya. Dan silakan dicek waktu itu PJ-nya cuma 6 bulan. Kalau

sekarang kan ada lama. Itu ilmu saya, saya tahu. Maka tugas dia waktu itu karena tidak akan menganggarkan. Dan saya tahu birokrasi yang di Pemda Purwakarta waktu itu, kalau saya enggak minuskan itu, pasti

Bisik sama PJ, "Pak, zaman begini, Pak, begini, Pak, dia ingin nikmati jalan-jalan, studi banding, segala macam." Balik tahu kelakuan birokrasi. Kenapa? Tetapi, birokrasi enggak

boleh dikasih ingin senang terus. Kenapa, loh, harus dikasih? Susah, dong, harus memikirkan sesuatu yang publik rasakan. Jangan terus dikasih kegiatannya: seminar, simposium, sosialisasi, fasilitasi, tapi

jalan ruwet, sekolah rusak. [Tepuk tangan] Enggak bisa. Kenapa dia harus dibawa pada kebiasaan birokrasi? Kalau saya pimpin, bukan hanya membelanjakan anggaran dengan tenang, dia harus berpikir bahwa

anggarannya akan defisit. Kenapa? Karena itu tantangannya. Karena manusia harus diajak berpikir. Negeri ini rugi, Pak, menyekolahkan birokrasi S1, S2, S3. Kemudian, pendidikannya dari

mulai apa? Awal birokrasi di-cut-in terus. Hah, pokoknya segala macam. Dan kalau kata Pak J, mantan Menteri Perhubungan, "Apa sih yang menjadi kelemahan Indonesia?" Loba. Kenapa? Anda bayangin jadi birokrat,

KDM : PENDIDIKAN KITA KEHILANGAN AKAR TRADISI DAN KETINGGALAN TEKHNOLOGI

KANG DEDI MULYADI CHANNEL

Dedi Mulyadi conveyed his greetings and introduced himself as a person who failed in developing Purwakarta because he only focused on the physical framework and had not internalized ideal values.

Dedi Mulyadi explained his failure in developing Purwakarta for 15 years, even though he started as deputy regent.

He highlighted his failure to internalize ideal values into the bureaucracy and government.

Dedi Mulyadi criticized the capitalization of religious issues used to undermine the idea of the nation's future.

Dedi Mulyadi discussed the importance of ideas and ideology for the progress of a nation, and analyzed the development of America, Japan, Iran, and China.

He explained how America grew into a multiethnic and plural nation because it values freedom and ideas.

Dedi Mulyadi explained how America wants to dominate the world through various aspects, including language, food, clothing, art, economy, and military.

He discussed Japan, which despite being traditional, had a forward-thinking perspective and was able to recover from the failure of the war.

Dedi Mulyadi analyzed China, which was united by communist ideology and successfully capitalized on it for economic growth.

Dedi Mulyadi questioned Indonesia's ideology and criticized the constant policy changes, and discussed the threats to education.

He criticized the instability of policies in Indonesia that keep changing with the change of leaders.

Dedi Mulyadi highlighted the threats to education, namely the abandonment of traditionalism and the influence of foreign cultures.

He criticized the money and project-based education system, which replaced natural values.

Dedi Mulyadi recounted his experience observing school children trapped in a consumptive lifestyle and burdening their parents.